Pendahuluan
Keharmonisan
dalam sebuah keluarga akan terganggu oleh adanya sifat-sifat anggota keluarga
yang suka cek-cok. Kemarahan menyebabkan penyesalan dalam hati, perselisihan
dalam keluarga, ketegangan dalam masyarakat. Sifat pemarah adalah salah satu
dari dosa-dosa manusia yang paling berat. Orang yang suka marah, cenderung
mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak sedikit yang melampiaskannya dengan
kontak fisik .
Jerry Bridges dalam bukunya Respectable SINS yang dikutip dari buku Uprooting Ange karangan Robert Jones mengatakan, “Kemarahan adalah
problema yang bersifat luas yang sudah menjamur dalam suatu budaya oleh setiap
orang. Tidak ada yang luput dari tabiat ini dan kebal terhadap racunnya.
Kemarahan bisa merusak hubungan-hubungan yang paling dekat sekalipun. Kemarahan
adalah bagian dari tabiat setiap orang yang berdosa. Dan ini berlaku untuk semua orang termasuk orang-orang
kristen”.[1]
Artinya bahwa manusia cenderung marah karena tabiat dosa yang ada pada dirinya
dan faktor yang ada di lingkungannya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap orang
untuk dapat memberikan perhatian yang bisa memberikan rasa aman kepada
orang-orang disekitar. Ditinjau dari
segi etika, kemarahan sangat berkaitan erat dengan munculnya berbagai macam
persoalan yang merusak moral bahkan fisik orang-orang yang ada disekitarnya.
Berbicara mengenai etika, berarti berbicara mengenai
apa yang secara moral benar dan salah. Banyak teori telah dikemukakan berkaitan
dengan apa yang dimaksudkan dengan perbuatan yang baik secara moral. Istilah
“etika” berasal kata ethos dalam
bahasa Yunani. Arti yang paling purba rupanya tidak bersangkut-paut dengan
etika. Awal-mula ethos berarti sebuah
kandang, yaitu tempat kediaman sapi atau kuda. Lama kelamaan, sejalan dengan
perkembangan bahasa, kata ethos
berubah artinya menjadi, “kebiasaan” atau
“kelakuan menurut adat”.[2]
Sedangkan
etika Kristen bertumpuh pada anugerah dan pengampunan ilahi, bahkan perbuatan
kita yang paling baik pun tak boleh dianggap mengandung kebaikan sempurna.[3]
Perbuatan manusia selamanya tak sempurna, dilakukan dalam aneka situasi yang
tak sempurna juga, dan karenanya tergantung pada pengampunan Allah. Etika
Kristen mengakui sumber norma ialah kehendak Allah seperti dinyatakan dalam
Alkitab.[4]
Jadi,
dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kemarahan perlu ditinjau dari
segi etika secara khusus pandangan etika Kristen. Oleh karena itu, penulis
sangat tertarik untuk menulis karya ilmiah dengan judul “Pandangan Etika
Kristen Tentang Kurangnya Pengendalian Diri”.
Pandangan Etika Kristen
terhadap Dosa Kemarahan
Sesudah
membahas tentang pengertian kemarahan
dan etika Kristen, maka pada bagian
ini penulis ingin membahas mengenai pandangan”Etika Krsiten terhadap Dosa
Kemarahan “.
Ada
beberapa pandangan etika Kristen terhadap dosa kemarahan, antara lain:[5]
Yang pertama,
kemarahan mendatangkan pertentangan dan musibah
kepada alam semesta ini dan Allah sangat tidak menyukainya. Dalam Mazmur 3:8
jelas disebutkan bahwa marah hanya akan membawa setiap orang kepada kejahatan.
Setiap orang yang cepat terbawa suasana emosi atau cepat panas hati akan
memunculkan perselisihan.
Yang kedua,
kemarahan memperlihatkan sifat kebrutalan manusia yang sangat menjijikkan. Ada
anggapan yang mengatakan bahwa orang yang sering marah adalah orang yang tidak
lebih daripada binantang. Apalagi jika orang tersebut telah melampiaskan
kemarahannya itu dengan cara membunuh baik fisik dan rohani seseorang. Orang
tersebut adalah orang yang tidak memiliki hati nurani. Bahkan Yesus sendiri
saat ditangkap di Taman Getsemani, ketika Petrus memotong telinga dari hamba
Imam Besar itu, berkata: Siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang (Mat
26:52). Ini menunjuk kepada setiap orang bahwa sifat hewani seseorang itu bisa
saja muncul ketika respon ancaman itu ada pada dirinya. Nah, dengan tidak berpikir
panjang kemarahan bisa berakibat pada tragedy yang tidak diinginkan dan dibenci
oleh Allah.
Yang ketiga,
kemarahan membuat seseorang merasa tidak memiliki harapan untukn hidup. Dalam
kitab Kejadian 4:6 Allah berkata kepada Kain yang kegembiraannya sudah
dilenyapkan oleh amarahnya. Rasa marah adalah asal mula dari keinginan
membunuh. Kain marah dan akhirnya membunuh Habel adiknya sendiri. Amarah itu
merusak dan membinasakan. Amarah itu menyalakan api emosi, memperdalam rasa
cemburu dan membuat jiwa jadi kering dan hampa.
Yang keempat,
kemarahan membuat Allah menjadi Murka. Dalam Roma 1:18 dijelaskan tentang bagaimana Allah murka terhadap orang-orang
yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Setiap orang yang belum datang kepada
Yesus Kristus, yang belum mengakui dosanya dan menerima Dia sebagai
Juruselamat, adalah orang-orang yang akan mendapat murka Allah.
Jadi, dari beberapa pandangan etika Kristen diatas
memberikan sumbangsi mengenai bahayanya dosa kemarahan itu dan pada puncaknya
adalah murka Allah yang menyala-nyala. Lalu, bagaimana marah yang seharusnya tidak
membangkitkan murka Allah? Apa yang harus dilakukan untuk bisa jauh dari murka
Allah itu?
Nah, Allah memberikan kita hikmat untuk dapat
mengerti mana yang baik dan mana yang jahat. Oleh karena itu alkitab juga
mengajarkan, bahwa ada juga kemarahan yang berdasarkan kebenaran Tuhan yang
dapat dibenarkan. Anda dapat menemukan didalam alkitab ketika Yesus marah di
Bait Allah ketika dijadikan tempat berjualan? Karena sebenarnya perasaan yang
benci yang disertai dengan amarah yang menyala-nyala itulah yang membuat
seseorang berdosa. Amarah yang dimaksudkan adalah menunjuk kepada sifat
seseorang yang memberontak kepada kebenaran dan otoritas Firman Allah.
Jadi, ada
amarah yang bisa dibenarkan dalam pandangan Allah dan bebas dari murka-Nya.
Contohnya adalah marah karena tidak setuju dengan korupsi, seks bebas, melihat
situs porno,dll. Intinya adalah marah ketika itu untuk menegur sesuai dengan
keberaran Firman Allah dibenarkan bukan dengan perasaan emosi dan ego
seseorang. Tetapi yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah bahwa ukuran
dosa itu tidak ada besar dan kecil, semuanya sama dalam satu kategori yaitu
dosa.
Metode Mengatasi
Kemarahan
Setelah
melihat penjelasan mengenai pandangan etika Kristen terhadap dosa kemarahan,
maka pada bagian ini penulis akan membahas mengenai langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk mencegah dosa kemarahan.
Jadi,
langkah pertama untuk dapat menang atas amarah yang tak sepatutnya itu ialah keinginan untuk bebas daripadanya.
Adanya inisiatif dari diri sendiri untuk bebas dari tabiat marah itu adalah
salah satu cara untuk mengatasi dosa kemarahan. Kadang ada orang yang melalukan usaha ini dengan tindakan menguji
kesabaran. Dengan cara ini seseorang dapat memberikan ruang dalam hatinya untuk
membatasi dirinya untuk tidak terbawa arus dalam dosa kemarahan dan bersabar.
Kedua, setiap pribadi harus mengakui kepada Allah
dosa kemarahan ini dan memohon pengampunan. Tidak banyak orang yang menyadari
kesalahan dari tindakan amarah itu. Karena manusia cenderung berpikir ketika
hal itu telah selesai maka masalah itu sudah teratasi. Tetapi, sebenarnya hal
yang paling penting adalah meminta maaf dan meminta pengampunan. Orang itu
harus meminta maaf kepada siapa dia melampiaskan amarahnya itu dan memohon
pengampunan kepada Kristus untuk dosa yang telah dia lakukan.
Kesimpulan
Amarah adalah tindakan yang tidak baik apalagi bila
disertai dengan tindakan kekerasan baik melalui ucapan maupun kontak fisik. Ada
beberapa pandangan yang diberikan etika Kristen, yakni: kemarahan membawa perselisihan dan bencana kepada dunia
ini. Kemarahan menunjukkan sifat hewani manusia, kemarahan menyebabkan orang
kehilangan kegembiraan dan gairah untuk hidup, kemarahan
membangkitkan murka Allah. Dan metode untuk bisa menahan amarah adalah melatih
kesabaran dan minta Tuhan dan keluarga atau teman untuk membantu mengingatkan
saudara ketika marah.
[1] Jerry Bridges, Respectable SINS (Dosa-dosa yang Dianggap
Pantas, (Bandung: Pionir Jaya, 2008), 137.
[2] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan
pada Etika Kristen Dasar,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 25.
[3] Ibid., 88.
[4]R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),
26.
[5]Billy Graham, Bebas dari Tujuh Dosa Maut,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), 16-22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar