Sabtu, 04 April 2020

Tinjauan Etika Kristen Terhadap Kemarahan




Pendahuluan
            Keharmonisan dalam sebuah keluarga akan terganggu oleh adanya sifat-sifat anggota keluarga yang suka cek-cok. Kemarahan menyebabkan penyesalan dalam hati, perselisihan dalam keluarga, ketegangan dalam masyarakat. Sifat pemarah adalah salah satu dari dosa-dosa manusia yang paling berat. Orang yang suka marah, cenderung mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak sedikit yang melampiaskannya dengan kontak fisik .
Jerry Bridges dalam bukunya Respectable SINS   yang dikutip dari buku Uprooting Ange karangan Robert Jones mengatakan, “Kemarahan adalah problema yang bersifat luas yang sudah menjamur dalam suatu budaya oleh setiap orang. Tidak ada yang luput dari tabiat ini dan kebal terhadap racunnya. Kemarahan bisa merusak hubungan-hubungan yang paling dekat sekalipun. Kemarahan adalah bagian dari tabiat setiap orang yang berdosa. Dan ini berlaku  untuk semua orang termasuk orang-orang kristen”.[1] Artinya bahwa manusia cenderung marah karena tabiat dosa yang ada pada dirinya dan faktor yang ada di lingkungannya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap orang untuk dapat memberikan perhatian yang bisa memberikan rasa aman kepada orang-orang disekitar.  Ditinjau dari segi etika, kemarahan sangat berkaitan erat dengan munculnya berbagai macam persoalan yang merusak moral bahkan fisik orang-orang yang ada disekitarnya.
Berbicara mengenai etika, berarti berbicara mengenai apa yang secara moral benar dan salah. Banyak teori telah dikemukakan berkaitan dengan apa yang dimaksudkan dengan perbuatan yang baik secara moral. Istilah “etika” berasal kata ethos dalam bahasa Yunani. Arti yang paling purba rupanya tidak bersangkut-paut dengan etika. Awal-mula ethos berarti sebuah kandang, yaitu tempat kediaman sapi atau kuda. Lama kelamaan, sejalan dengan perkembangan bahasa, kata ethos berubah artinya menjadi, “kebiasaan” atau  “kelakuan menurut adat”.[2]
            Sedangkan etika Kristen bertumpuh pada anugerah dan pengampunan ilahi, bahkan perbuatan kita yang paling baik pun tak boleh dianggap mengandung kebaikan  sempurna.[3] Perbuatan manusia selamanya tak sempurna, dilakukan dalam aneka situasi yang tak sempurna juga, dan karenanya tergantung pada pengampunan Allah. Etika Kristen mengakui sumber norma ialah kehendak Allah seperti dinyatakan dalam Alkitab.[4]
            Jadi, dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kemarahan perlu ditinjau dari segi etika secara khusus pandangan etika Kristen. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk menulis karya ilmiah dengan judul “Pandangan Etika Kristen Tentang Kurangnya Pengendalian Diri”.

Pandangan Etika Kristen terhadap Dosa Kemarahan
            Sesudah membahas tentang pengertian kemarahan dan etika Kristen, maka pada bagian ini penulis ingin membahas mengenai pandangan”Etika Krsiten terhadap Dosa Kemarahan “.
            Ada beberapa pandangan etika Kristen terhadap dosa kemarahan, antara lain:[5]
Yang pertama, kemarahan  mendatangkan pertentangan dan musibah kepada alam semesta ini dan Allah sangat tidak menyukainya. Dalam Mazmur 3:8 jelas disebutkan bahwa marah hanya akan membawa setiap orang kepada kejahatan. Setiap orang yang cepat terbawa suasana emosi atau cepat panas hati akan memunculkan perselisihan.
Yang kedua, kemarahan memperlihatkan sifat kebrutalan manusia yang sangat menjijikkan. Ada anggapan yang mengatakan bahwa orang yang sering marah adalah orang yang tidak lebih daripada binantang. Apalagi jika orang tersebut telah melampiaskan kemarahannya itu dengan cara membunuh baik fisik dan rohani seseorang. Orang tersebut adalah orang yang tidak memiliki hati nurani. Bahkan Yesus sendiri saat ditangkap di Taman Getsemani, ketika Petrus memotong telinga dari hamba Imam Besar itu, berkata: Siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang (Mat 26:52). Ini menunjuk kepada setiap orang bahwa sifat hewani seseorang itu bisa saja muncul ketika respon ancaman itu ada pada dirinya. Nah, dengan tidak berpikir panjang kemarahan bisa berakibat pada tragedy yang tidak diinginkan dan dibenci oleh Allah.
Yang ketiga, kemarahan membuat seseorang merasa tidak memiliki harapan untukn hidup. Dalam kitab Kejadian 4:6 Allah berkata kepada Kain yang kegembiraannya sudah dilenyapkan oleh amarahnya. Rasa marah adalah asal mula dari keinginan membunuh. Kain marah dan akhirnya membunuh Habel adiknya sendiri. Amarah itu merusak dan membinasakan. Amarah itu menyalakan api emosi, memperdalam rasa cemburu dan membuat jiwa jadi kering dan hampa. 
Yang keempat, kemarahan membuat Allah menjadi Murka. Dalam Roma 1:18 dijelaskan tentang  bagaimana Allah murka terhadap orang-orang yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Setiap orang yang belum datang kepada Yesus Kristus, yang belum mengakui dosanya dan menerima Dia sebagai Juruselamat, adalah orang-orang yang akan mendapat murka Allah.
Jadi, dari beberapa pandangan etika Kristen diatas memberikan sumbangsi mengenai bahayanya dosa kemarahan itu dan pada puncaknya adalah murka Allah yang menyala-nyala. Lalu, bagaimana marah yang seharusnya tidak membangkitkan murka Allah? Apa yang harus dilakukan untuk bisa jauh dari murka Allah itu?
Nah, Allah memberikan kita hikmat untuk dapat mengerti mana yang baik dan mana yang jahat. Oleh karena itu alkitab juga mengajarkan, bahwa ada juga kemarahan yang berdasarkan kebenaran Tuhan yang dapat dibenarkan. Anda dapat menemukan didalam alkitab ketika Yesus marah di Bait Allah ketika dijadikan tempat berjualan? Karena sebenarnya perasaan yang benci yang disertai dengan amarah yang menyala-nyala itulah yang membuat seseorang berdosa. Amarah yang dimaksudkan adalah menunjuk kepada sifat seseorang yang memberontak kepada kebenaran dan otoritas Firman Allah.
 Jadi, ada amarah yang bisa dibenarkan dalam pandangan Allah dan bebas dari murka-Nya. Contohnya adalah marah karena tidak setuju dengan korupsi, seks bebas, melihat situs porno,dll. Intinya adalah marah ketika itu untuk menegur sesuai dengan keberaran Firman Allah dibenarkan bukan dengan perasaan emosi dan ego seseorang. Tetapi yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah bahwa ukuran dosa itu tidak ada besar dan kecil, semuanya sama dalam satu kategori yaitu dosa.

Metode Mengatasi Kemarahan
            Setelah melihat penjelasan mengenai pandangan etika Kristen terhadap dosa kemarahan, maka pada bagian ini penulis akan membahas mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencegah dosa kemarahan.
            Jadi, langkah pertama untuk dapat menang atas amarah yang tak sepatutnya itu ialah keinginan untuk bebas daripadanya. Adanya inisiatif dari diri sendiri untuk bebas dari tabiat marah itu adalah salah satu cara untuk mengatasi dosa kemarahan. Kadang ada orang yang  melalukan usaha ini dengan tindakan menguji kesabaran. Dengan cara ini seseorang dapat memberikan ruang dalam hatinya untuk membatasi dirinya untuk tidak terbawa arus dalam dosa kemarahan dan bersabar.
Kedua, setiap pribadi harus mengakui kepada Allah dosa kemarahan ini dan memohon pengampunan. Tidak banyak orang yang menyadari kesalahan dari tindakan amarah itu. Karena manusia cenderung berpikir ketika hal itu telah selesai maka masalah itu sudah teratasi. Tetapi, sebenarnya hal yang paling penting adalah meminta maaf dan meminta pengampunan. Orang itu harus meminta maaf kepada siapa dia melampiaskan amarahnya itu dan memohon pengampunan kepada Kristus untuk dosa yang telah dia lakukan.

Kesimpulan
Amarah adalah tindakan yang tidak baik apalagi bila disertai dengan tindakan kekerasan baik melalui ucapan maupun kontak fisik. Ada beberapa pandangan yang diberikan etika Kristen, yakni: kemarahan  membawa perselisihan dan bencana kepada dunia ini. Kemarahan menunjukkan sifat hewani manusia, kemarahan menyebabkan orang kehilangan kegembiraan dan gairah untuk hidup, kemarahan membangkitkan murka Allah. Dan metode untuk bisa menahan amarah adalah melatih kesabaran dan minta Tuhan dan keluarga atau teman untuk membantu mengingatkan saudara ketika marah.








[1] Jerry Bridges, Respectable SINS (Dosa-dosa yang Dianggap Pantas, (Bandung: Pionir Jaya, 2008), 137.
[2] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 25.

[3] Ibid., 88.
[4]R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 26.
[5]Billy Graham, Bebas dari Tujuh Dosa Maut, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), 16-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Latar Belakang Kisah Para Rasul

Latar Belakang Dalam Alkitab terjemahan baru ini disebut “Kisah Para Rasul”. Judul ini dapat kita ikuti jejaknya kembali ke abad yang...