Minggu, 05 April 2020

Padanan Nama Tuhan dalam Alkitab dan Budaya Tana Toraja


Oleh: Frerianus Erwin


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Apakah Tuhan orang kristen sama dengan Tuhan yang disembah oleh masing-masing daerah? Apakah ada kaitan dari penggunaan nama Yang Maha Kuasa tersebut? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang sebenarnya membutuhkan penjelasan yang benar-benar terarah dan prinsipil, karena merupakan sebuah doktrin atau kepercayaan seseorang. Selain itu, nama Tuhan itu tidak boleh diucapkan secara sembarangan (Ul. 5:11). Herianto Lie menjelaskan dalam perkuliahan Pengantar Perjanjian Lama II bahwa, “Nama Tuhan adalah nama yang Kudus, oleh karena itu pada saat penulisan nama YHWH pada Perjanjian Lama, setiap mendapat nama YHWH penulis kitab itu akan mengganti pena yang digunakan.”[1] Jadi, tidak heran jika orang sering mengatakan untuk tidak bersumpah dengan menggunakan nama Tuhan, karena Alkitab mengajar demikian.
Menurut John Frame, “Nama Tuhan (dalam bahasa Ibrani Yahweh) merupakan nama yang digunakan Allah untuk memperkenalkan  diri-Nya pada awal kovenan-Nya dengan Israel (Kel. 3:13-15; 6:1-8; 20:1,dsb).[2] Samin H Sitohang juga mengatakan bahwa, “Proses lahirnya nama-nama Tuhan itu dikenal dalam dua cara. Keduanya yaitu, penyataan khusus dan penyataan umum, sehingga dengan demikian nama-nama-Nya dikenal dalam dua cara ini.”[3] R.J. Porter juga mengatakan bahwa, “ Tanpa penyataan Allah, tidak ada dan tidak akan ada seorangpun yang dapat mengenal Allah.”[4] Jadi, sangat jelas bahwa nama-nama Tuhan merupakan salah satu cara manusia untuk mengenal Allah lewat penyataan-Nya sendiri kepada manusia.
            Dalam kaitan tugas dan tanggung jawab sebagai orang percaya, yang telah diberi mandat oleh Yesus Kristus yang dikenal dengan sebutan “Amanat Agung”, maka orang percaya dituntut untuk dapat memberitakan kabar baik itu kepada segala bangsa dan suku. Menurut Sudarmanto, “Memang waktu manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh aspek budayanya juga dipengaruhi dosa, sehingga manusia melaksanakan mandat budaya tersebut dalam konteks keberdosaanya. Tetapi, itulah dimana tanggung jawab bersama sebagai orang percaya untuk membangun relasi dan mewujudkan mandate budaya dari Allah yang diperintahkan-Nya itu”.[5] Jadi, dalam mewujudkan mandat Yesus Kristus untuk sampai kepada segala suku bangsa, maka sangat penting untuk memahami konsep tentang Tuhan disetiap daerah.
Indonesia adalah suatu bangsa yang memiliki tingkat kemajemukan budaya, dan agama yang sangat banyak. Hal itu tentu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pengenalan akan Allah yang benar dari sudut pandang kekristenan. Karena pembahasan mengenai nama Tuhan disetiap daerah di Indonesia sangat luas, maka penulis akan memfokuskan satu tempat saja yaitu, Tana Toraja. Namun, untuk melihat sejarah atau latar belakang dari Tana Toraja, akan dibahas pada bab II.
            Melihat latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas paper dengan judul “Padanan Nama Tuhan dalam Alkitab dengan Tuhan dalam Budaya Toraja”.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Nama Allah dalam Alkitab dan Padanannya dengan
Penamaan Puang Matua di Toraja
Informasi Alkitab
            Pada latar belakang penulisan paper ini, telah dibahas mengenai pentingnya penggunaan nama Tuhan dalam pemberitaan mandat Yesus Kristus. Pada bab ini, akan fokus membahas mengenai Nama Allah dalam Alkitab, Nama Allah di Suku Toraja, dan padanan dari kedua sudut pandang tersebut.
Perjanjian Lama
            Dalam perjanjian lama ada beberapa penggunaan nama Allah yang digunakan. Menurut Louis Berkhof penggunaan nama Allah dalam perjanjian lama ada 4, yaitu:[6]
            Pertama, El, Elohim dan Elyon. El yang mungkin berasal dari kata ul, yang berarti yang menjadi pertama, mejadi tuan, dan juga berarti kuat dan berkuasa. Elohim dari kata dasar ‘Eloah’ yang menunjuk kepada Allah sebagai Dia yang berkuasa, dan Kuat. Elyon dari kata ‘alah’, berarti ‘ke atas’, ‘ditinggikan’, dan menunjuk Allah sebagai Dia yang tinggi dan dimuliakan (Kej 14:19-20; Bil 24:16; Yes 14:14).
            Kedua, Adonai. Dari kata  dun (din), atau adan yang keduanya berarti menghakimi, memerintah, dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai Penguasa yang kuat, kepada siapa semuanya harus berhadapan, dan kepadanya manusia adalah hamba.
            Ketiga, Shaddai dan El-Shaddai. Nama Shaddai diturunkan dari kata ‘shadad’ yang artinya penuh kuasa, dan menunjuk kepada Allah sebagai pemilik kuasa di surge dan di bumi. Ada juga yang mengatakan mungkin dari kata shad yang artinya tuan (Kel. 6:2).
            Keempat, Yahweh. Yahweh atau YHWH inilah yang perlahan-lahan menggantikan nama-nama yang lain inilah Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah anugerah. Nama ini dianggap sebagai nama yang paling sacral dan paling diagungkan di antara nama-nama yang lain, sebagai Allah yang tidak mungkin berubah. Orang Yahudi bahkan takut menyebut nama itu (Ima. 24:16), sehingga orang Yahudi menggantinya dengan ‘Adonai’ atau ‘Elohim.
Perjanjian Baru
Lanjut  Louis, mengatakan bahwa nama Allah dalam Perjanjian Lama mempunyai bentuk yang setara dalam Perjanjian Baru.[7]
            Pertama, Theos. Bagi nama El, Elohim dan Elyon, nama dalam bahasa Yunaninya adalah Theos, yang merupakan nama paling umum dari Allah. Pada umumnya Theos lebih sering muncul dalam genitif yang menyatakan milik, seperti, Allah dianggap Allah dari segala umat-Nya atau anak-anak-Nya.
            Kedua, Kurios. Perjanjian Baru mengikuti Septuaginta yang menggantikan Adonay dengan kata ini dan menyetarakannya dengan Kurios yang berarti berkuasa. Nama ini tidak mempunyai konotasi yang tepat sama dengan Yahweh, tetapi menunjuk Allah sebagai Yang Maha Kuasa, dan menunjuk kepada Kristus.
            Ketiga, Pater. Nama Bapa dipakai untuk menunjuk keilahian, dan dalam perjanjian lama dipakai sebaga hubungan antara Israel dan Allah. Dalam bagian yang lain menunjukkan tentang pribadi pertama Tritunggal Allah Bapa, yang berelasi dengan Kristus, sebagai Anak Allah.
Suku Toraja
Kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. Tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan sebagai bagian dari ciri khas mereka. Dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu kelompok  masyarakat yang berbeda dengan kelompok, suku, ataupun bangsa yang lain. Klukhohn mendefenisikan kebudayaan, sebagaimana dikutip oleh David J.Hesselgrave dalam bukunya, Communicating Christ Cross- Cullturally: Mengkomunikasikan Kristus Secara Lintas Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Missionari, bahwa “kebudayaan adalah cara berpikir, merasa, meyakini.”[8]
Oleh karena itu, secara subjektif, setiap individu tentunya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai kelompok ataupun suku yang berbeda dengan yang lainnya, Suku Toraja juga memiliki budaya yang menjadikannya unik di tengah-tengah kemajemukan suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam kebudayaan masyarakat Toraja dikenal empat macam tingkat atau strata social: (1) Tana’ Bulaan atau golongan bangsawan, (2) Tana’ Bassi atau golongan bangsawan menengah, (3) Tana’ Karurung atau rakyat biasa/ rakyat merdeka, dan (4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba.[9]
Menurut Tangdilintin, “Sebelum kata Toraja dipergunakan…dahulunya dinamai dengan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, yang artinya “Negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bundar/ bulat bagaikan bentuknya Bulan dan Matahari.”[10] Sebutan Toraja mulai terdengar sejak adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan Bugis atau diluar Tondok Lepongan Bulan.  Lanjut Tangdilintin mengatakan bahwa, “Toraja berasal dari kata “To Riaja” (To = orang; Riaja = sebelah diatas bahagian Barat/ Raja), yang artinya orang-orang Raja dari bahagian utara atas dari kerajaan Bugis Sidenreng.”[11]
Jadi, itulah sejarah dari penggunaan nama Toraja yang sekarang ini dikenal juga dengan daerah yang sangat toleran dalam hal agama.
Agama
            Mayoritas Suku di Toraja adalah beragama Kristen protestan yang dinominasi oleh Gereja Toraja. Selain itu, Agama Katolik, Islam, dan Aluk Todolo. Aluk Todolo dalam perkembangannya dipengaruhi oleh Ajaran Hindu, sehinnga pemerintah menggolongkannya ke dalam Agama Hindu Darma. Agama Hindu Toraja adalah agama adat yang biasa dikenal dengan nama Alukta atau sering disebut Aluk Todolo (kepercayaan agama-agama orang dahulu/ primitif). Buku Adat dan Upacara Perkawinan Sulawesi Selatan mencatat bahwa, “ Pada mulanya seluruh penduduk Tana Toraja beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur), tetapi pada permulaan abad 19 pengaruh agama Islam masuk pada bahagian Selatan dan kemudian Bangsa Belanda masuk 1906 dan menyebarkan agama Kristen.”[12] Jadi, bisa dikatakaan bahwa Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan Animisme.
Dari Alukta sendiri mengakui adanya suatu pribadi yang mereka sembah dalam konsep dan system kepercayaan mereka. Agama Alukta mengakui adanya satu pribadi Yang Maha Kuasa yang mereka sebut sebagai Puang Matua. Puang Matua adalah nama yang diberikan agama Aluk Todolo sebagai Yang berkuasa atau yang menciptakan.   Aluk Todolo menyembah tiga Pribadi yang dianggap perlu disembah, yakni: Puang Matua, Deata-deata,  dan  Tomembali Puang/ Todolo. Puang juga dalam tatan kebudayaaan atau strata orang Toraja merupakan posisi tertinggi atau keturunan dewa. Puang juga dalam pengertiannya dianggap sebagai tuan. Beranjak dari pengertian-pengertian tersebut, maka dalam upaya kontekstualisasi orang Kristen tetap menggunakan nama Puang Matua sebagai pribadi yang berkuasa atau dalam kekristenan dipahami sebagai Allah. Dalam konteks Tritunggal disebut sebagai “Puang Ti Tanan Tallu”, (Puang Matua, Puang Yesu’ Kristu’, Puang Pena Masallo’), artinya “Allah Bapa, Allah Anak (Yesus Kristus), dan Allah Roh Kudus).  
Korelasi Nama Allah di antara keduanya
Penulis setuju dengan pandangan bahwa penggunaan nama Tuhan dalam budaya masing-masing adalah sesuatu yang tidak menjadi problem. Alasannya adalah karena ini berkenaan dengan mandat Yesus sendiri kepada orang percaya, untuk bisa menyampaikan kabar baik atau Injil itu kepada segala suku bangsa (Mat 28:119-20). Berkaitan dengan hal itu, maka untuk menjangkau suku-suku atau budaya yang belum tersentuh Injil itu, diperlukan suatu upaya yang disebut sebagai kontekstualisasi. Dalam hal kontekstualisasi, yang perlu diperhatikan adalah apakah itu bisa dikotekstualisasikan atau tidak. Bagi, penulis sendiri nama Puang (dalam bahasa Toraja) tidak menjadi suatu masalah dalam kontekstualisasi. Yang menjadi masalah dalam kekristenan adalah ketika isi yang diberitakan bukan lagi  Injil Yesus Kristus itu. Artinya pemberian nama Tuhan (Puang) ini bagi penulis merupakan suatu bentuk atau cara yang sangat efektif dalam menyampaikan Injil itu, tanpa menghilangkan makna Injil tersebut. Nama Puang bagi penulis bisa digunakan karena, itulah yang menjadi konsep pemikiran orang Toraja sebagai yang Maha Kuasa. Tinggal orang percaya memberikan suatu pemahaman untuk bagaimana orang tersebut memahami Puang Matua ini  dari perspektif kekristenan.
Pada dasarnya adalah Tuhan ingin dikenal lewat penyataan yang diberikan-Nya, baik penyataan umum, maupun penyataan khusus. Olehnya itu, Allah ingin supaya orang percaya pergi memberitakan Injil itu kepada suku bangsa, dengan memperkenalkan keselamatan didalam Yesus Kristus, tanpa merubah tatanan kebudayaan masing-masing daerah atau suku. Tapi, yang penting juga bahwa nama Tuhan yang ada dalam Alkitab orang percaya harus diperkenalkan kepada orang-orang tersebut sehingga lewat itu, membantu mereka dalam mengerti setiap apa yang diajarkan atau disampaikan kepada mereka.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Nama Allah perlu untuk dipelajari dan dimengerti, karena lewat itu, setiap orang bisa mengenal Dia. Allah sendiri berinisiatif untuk memperkenalkan diri-Nya lewat penyataan yang dilakukan baik umum maupun khusus. Sesuai dengan Amanat Agung Yesus Kristus untuk menjangkau semua suku bangsa, maka orang percaya perlu belajar tentang kehidupan budaya orang yang akan dijangkau. Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa nama yang dipakai untuk Allah yakni, El, Elohim, Elyon, Adonai, Shaddai, El Sahddai, dan YHWH. Di dalam Perjanjian Baru, ada Theos, Kurios, dan Pater.
            Dalam budaya Toraja, nama Allah yang digunakan adalah Puang Matua. Puang Matua dianggap orang Toraja sebagai Sang Pencipta dan Yang Berkuasa. Orang Kristen dalam upaya menjangkau suku Toraja dengan Injil menggunakan upaya kontekstualisasi. Kontekstualisasi yang dimaksud adalah Injil masuk ke dalam budaya tersebut, tanpa merusak tatanan budaya. Yang dikontekstualisasikan adalah nama Allah dalam Alkitab dan dalam suku Toraja disebut sebagai Puang Matua. Yang terpenting adalah isi Injil tidak bisa dikontekstualisasikan, artinya budaya tidak memasuki Injil tersebut.




   Frerianus Erwin






DAFTAR PUSTAKA
Alkitab:
Lembaga Alkitab Indonesia. 2010.
Buku-buku:
Berkhof. Louis Teologi Sistematika; Volume 1 Doktrin Allah. Jakarta: Lembaga      Reformed Injili Indonesia 1994.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah            Sulawesi Selatan.

Frame. John M. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah. Malang: Seminari Alkitab Asia         Tenggara Malang. 1999.

Hesselgrave. David J. Communicating Christ Cross-Culturally: Mengkomunikasikan          Kristus Sedara Lintas Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Misionari. Malang:     SAAT. 2004.

Porter. R.J. Katekisasi Masa Kini. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih. 2011.

Sarira. Y.A. Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen tentang Rambu Solo’. Tana Toraja: Pusbang Gereja Toraja. 1996.

Sitohang. Samin, H. Siapakah Nama Sang Pencipta? Bandung: Kalam Hidup. 2003.

Sudarmanto. G. Teologi Multikultural. Batu:Departemen Multimedia YPPII Batu. 2014.

Tangdilintin. L.T. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.     1980

Diskusi:

Lie. Herianto. Diskusi Perkuliahan Pengantar Perjanjian Lama II. Makassar: Sekolah        Tinggi Filsafat Jaffray Makassar. 2019.



[1] Herianto Lie, Diskusi Perkuliahan Pengantar Perjanjian Lama II., Makassar: Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, 2019).
[2] John M. Frame, Doktrin Pengetahuan Tentang Allah (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, 1999), 16.
[3] Samin, H. Sitohang, Siapakah Nama Sang Pencipta? (Bandung: Kalam Hidup, 2003), 35.
[4] R.J. Porter, Katekisasi Masa Kini (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 38.
[5] G. Sudarmanto, Teologi Multikultural (Batu:Departemen Multimedia YPPII Batu, 2014), 82-83.
[6] Louis Berkhof, Teologi Sistematika; Volume 1 Doktrin Allah (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994), 70-72
[7] Ibid., 74-76.
[8] David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross-Culturally:Mengkomunikasikan Kristus Sedara Lintas Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Misionari (Malang: SAAT, 2004), 96
[9]Y.A. Sarira, Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen tentang Rambu Solo’ (Tana Toraja: Pusbang Gereja Toraja, 1996), 105
[10]L.T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya (Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1980), 1.
[11] Ibid.,
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Latar Belakang Kisah Para Rasul

Latar Belakang Dalam Alkitab terjemahan baru ini disebut “Kisah Para Rasul”. Judul ini dapat kita ikuti jejaknya kembali ke abad yang...