Oleh: Frerianus Erwin
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Apakah Tuhan orang kristen sama
dengan Tuhan yang disembah oleh masing-masing daerah? Apakah ada kaitan dari
penggunaan nama Yang Maha Kuasa tersebut? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang
sebenarnya membutuhkan penjelasan yang benar-benar terarah dan prinsipil,
karena merupakan sebuah doktrin atau kepercayaan seseorang. Selain itu, nama
Tuhan itu tidak boleh diucapkan secara sembarangan (Ul. 5:11). Herianto Lie
menjelaskan dalam perkuliahan Pengantar Perjanjian Lama II bahwa, “Nama Tuhan
adalah nama yang Kudus, oleh karena itu pada saat penulisan nama YHWH pada
Perjanjian Lama, setiap mendapat nama YHWH penulis kitab itu akan mengganti
pena yang digunakan.”[1]
Jadi, tidak heran jika orang sering mengatakan untuk tidak bersumpah dengan
menggunakan nama Tuhan, karena Alkitab mengajar demikian.
Menurut
John Frame, “Nama Tuhan (dalam bahasa Ibrani Yahweh) merupakan nama yang
digunakan Allah untuk memperkenalkan
diri-Nya pada awal kovenan-Nya dengan Israel (Kel. 3:13-15; 6:1-8;
20:1,dsb).[2]
Samin H Sitohang juga mengatakan bahwa, “Proses lahirnya nama-nama Tuhan itu
dikenal dalam dua cara. Keduanya yaitu, penyataan khusus dan penyataan umum,
sehingga dengan demikian nama-nama-Nya dikenal dalam dua cara ini.”[3]
R.J. Porter juga mengatakan bahwa, “ Tanpa penyataan Allah, tidak ada dan tidak
akan ada seorangpun yang dapat mengenal Allah.”[4]
Jadi, sangat jelas bahwa nama-nama Tuhan merupakan salah satu cara manusia
untuk mengenal Allah lewat penyataan-Nya sendiri kepada manusia.
Dalam kaitan tugas dan tanggung
jawab sebagai orang percaya, yang telah diberi mandat oleh Yesus Kristus yang
dikenal dengan sebutan “Amanat Agung”, maka orang percaya dituntut untuk dapat
memberitakan kabar baik itu kepada segala bangsa dan suku. Menurut Sudarmanto,
“Memang waktu manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh aspek budayanya juga
dipengaruhi dosa, sehingga manusia melaksanakan mandat budaya tersebut dalam
konteks keberdosaanya. Tetapi, itulah dimana tanggung jawab bersama sebagai
orang percaya untuk membangun relasi dan mewujudkan mandate budaya dari Allah
yang diperintahkan-Nya itu”.[5]
Jadi, dalam mewujudkan mandat Yesus Kristus untuk sampai kepada segala suku
bangsa, maka sangat penting untuk memahami konsep tentang Tuhan disetiap
daerah.
Indonesia
adalah suatu bangsa yang memiliki tingkat kemajemukan budaya, dan agama yang
sangat banyak. Hal itu tentu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
pengenalan akan Allah yang benar dari sudut pandang kekristenan. Karena
pembahasan mengenai nama Tuhan disetiap daerah di Indonesia sangat luas, maka
penulis akan memfokuskan satu tempat saja yaitu, Tana Toraja. Namun, untuk
melihat sejarah atau latar belakang dari Tana Toraja, akan dibahas pada bab II.
Melihat latar belakang di atas, maka
penulis tertarik untuk membahas paper dengan judul “Padanan Nama Tuhan dalam Alkitab
dengan Tuhan dalam Budaya Toraja”.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
Nama Allah dalam Alkitab dan
Padanannya dengan
Penamaan Puang Matua di Toraja
Informasi
Alkitab
Pada latar belakang penulisan paper
ini, telah dibahas mengenai pentingnya penggunaan nama Tuhan dalam pemberitaan
mandat Yesus Kristus. Pada bab ini, akan fokus membahas mengenai Nama Allah
dalam Alkitab, Nama Allah di Suku Toraja, dan padanan dari kedua sudut pandang
tersebut.
Perjanjian Lama
Dalam perjanjian lama ada beberapa
penggunaan nama Allah yang digunakan. Menurut Louis Berkhof penggunaan nama
Allah dalam perjanjian lama ada 4, yaitu:[6]
Pertama,
El, Elohim dan Elyon. El yang mungkin berasal dari kata ul, yang berarti yang menjadi pertama, mejadi tuan, dan juga
berarti kuat dan berkuasa. Elohim dari kata dasar ‘Eloah’ yang menunjuk kepada
Allah sebagai Dia yang berkuasa, dan Kuat. Elyon dari kata ‘alah’, berarti ‘ke
atas’, ‘ditinggikan’, dan menunjuk Allah sebagai Dia yang tinggi dan dimuliakan
(Kej 14:19-20; Bil 24:16; Yes 14:14).
Kedua,
Adonai. Dari kata dun (din), atau adan yang
keduanya berarti menghakimi, memerintah, dan dengan demikian menunjuk kepada
Allah sebagai Penguasa yang kuat, kepada siapa semuanya harus berhadapan, dan
kepadanya manusia adalah hamba.
Ketiga,
Shaddai dan El-Shaddai. Nama Shaddai
diturunkan dari kata ‘shadad’ yang artinya penuh kuasa, dan menunjuk kepada
Allah sebagai pemilik kuasa di surge dan di bumi. Ada juga yang mengatakan
mungkin dari kata shad yang artinya
tuan (Kel. 6:2).
Keempat,
Yahweh. Yahweh atau YHWH inilah yang perlahan-lahan menggantikan nama-nama yang
lain inilah Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah anugerah. Nama ini dianggap
sebagai nama yang paling sacral dan paling diagungkan di antara nama-nama yang
lain, sebagai Allah yang tidak mungkin berubah. Orang Yahudi bahkan takut
menyebut nama itu (Ima. 24:16), sehingga orang Yahudi menggantinya dengan
‘Adonai’ atau ‘Elohim.
Perjanjian Baru
Lanjut Louis, mengatakan bahwa nama Allah dalam
Perjanjian Lama mempunyai bentuk yang setara dalam Perjanjian Baru.[7]
Pertama,
Theos. Bagi nama El, Elohim dan Elyon, nama dalam bahasa Yunaninya adalah Theos, yang merupakan nama paling umum
dari Allah. Pada umumnya Theos lebih sering muncul dalam genitif yang
menyatakan milik, seperti, Allah dianggap Allah dari segala umat-Nya atau
anak-anak-Nya.
Kedua,
Kurios.
Perjanjian Baru mengikuti Septuaginta yang menggantikan Adonay dengan kata ini dan menyetarakannya dengan Kurios yang berarti berkuasa. Nama ini
tidak mempunyai konotasi yang tepat sama dengan Yahweh, tetapi menunjuk Allah
sebagai Yang Maha Kuasa, dan menunjuk kepada Kristus.
Ketiga,
Pater.
Nama Bapa dipakai untuk menunjuk keilahian, dan dalam perjanjian lama dipakai
sebaga hubungan antara Israel dan Allah. Dalam bagian yang lain menunjukkan
tentang pribadi pertama Tritunggal Allah Bapa, yang berelasi dengan Kristus,
sebagai Anak Allah.
Suku Toraja
Kebudayaan
merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. Tidak ada
kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan sebagai bagian dari ciri
khas mereka. Dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu kelompok masyarakat yang berbeda dengan kelompok,
suku, ataupun bangsa yang lain. Klukhohn mendefenisikan kebudayaan, sebagaimana
dikutip oleh David J.Hesselgrave dalam bukunya, Communicating Christ Cross- Cullturally: Mengkomunikasikan Kristus
Secara Lintas Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Missionari, bahwa
“kebudayaan adalah cara berpikir, merasa, meyakini.”[8]
Oleh
karena itu, secara subjektif, setiap individu tentunya akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Sebagai kelompok ataupun suku yang berbeda dengan yang lainnya, Suku
Toraja juga memiliki budaya yang menjadikannya unik di tengah-tengah
kemajemukan suku-suku bangsa di Indonesia.
Dalam kebudayaan masyarakat Toraja dikenal empat macam tingkat atau strata
social: (1) Tana’ Bulaan atau
golongan bangsawan, (2) Tana’ Bassi atau
golongan bangsawan menengah, (3) Tana’
Karurung atau rakyat biasa/ rakyat merdeka, dan (4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba.[9]
Menurut Tangdilintin, “Sebelum kata Toraja dipergunakan…dahulunya dinamai
dengan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik
Allo, yang artinya “Negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya
merupakan kesatuan yang bundar/ bulat bagaikan bentuknya Bulan dan Matahari.”[10]
Sebutan Toraja mulai terdengar sejak
adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan Bugis atau
diluar Tondok Lepongan Bulan. Lanjut Tangdilintin
mengatakan bahwa, “Toraja berasal dari kata “To Riaja” (To = orang; Riaja =
sebelah diatas bahagian Barat/ Raja), yang artinya orang-orang Raja dari
bahagian utara atas dari kerajaan Bugis Sidenreng.”[11]
Jadi, itulah sejarah dari penggunaan
nama Toraja yang sekarang ini dikenal juga dengan daerah yang sangat toleran
dalam hal agama.
Agama
Mayoritas Suku di Toraja adalah
beragama Kristen protestan yang dinominasi oleh Gereja Toraja. Selain itu,
Agama Katolik, Islam, dan Aluk Todolo. Aluk Todolo dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh Ajaran Hindu, sehinnga pemerintah menggolongkannya ke dalam
Agama Hindu Darma. Agama Hindu Toraja adalah agama adat yang biasa dikenal
dengan nama Alukta atau sering
disebut Aluk Todolo (kepercayaan agama-agama orang dahulu/ primitif). Buku Adat dan Upacara Perkawinan Sulawesi Selatan
mencatat bahwa, “ Pada mulanya seluruh penduduk Tana Toraja beragama Aluk
Todolo (Agama Leluhur), tetapi pada permulaan abad 19 pengaruh agama Islam
masuk pada bahagian Selatan dan kemudian Bangsa Belanda masuk 1906 dan
menyebarkan agama Kristen.”[12] Jadi,
bisa dikatakaan bahwa Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan Animisme.
Dari
Alukta sendiri mengakui adanya suatu pribadi yang mereka sembah dalam konsep
dan system kepercayaan mereka. Agama Alukta mengakui adanya satu pribadi Yang Maha
Kuasa yang mereka sebut sebagai Puang Matua. Puang Matua adalah nama yang
diberikan agama Aluk Todolo sebagai Yang berkuasa atau yang menciptakan. Aluk Todolo menyembah tiga Pribadi yang
dianggap perlu disembah, yakni: Puang
Matua, Deata-deata, dan Tomembali
Puang/ Todolo. Puang juga dalam tatan kebudayaaan atau strata orang Toraja
merupakan posisi tertinggi atau keturunan dewa. Puang juga dalam pengertiannya
dianggap sebagai tuan. Beranjak dari pengertian-pengertian tersebut, maka dalam
upaya kontekstualisasi orang Kristen tetap menggunakan nama Puang Matua sebagai pribadi yang
berkuasa atau dalam kekristenan dipahami sebagai Allah. Dalam konteks Tritunggal disebut sebagai “Puang Ti Tanan
Tallu”, (Puang Matua, Puang Yesu’ Kristu’, Puang Pena Masallo’), artinya “Allah
Bapa, Allah Anak (Yesus Kristus), dan Allah Roh Kudus).
Korelasi
Nama Allah di antara keduanya
Penulis
setuju dengan pandangan bahwa penggunaan nama Tuhan dalam budaya masing-masing
adalah sesuatu yang tidak menjadi problem. Alasannya adalah karena ini
berkenaan dengan mandat Yesus sendiri kepada orang percaya, untuk bisa
menyampaikan kabar baik atau Injil itu kepada segala suku bangsa (Mat
28:119-20). Berkaitan dengan hal itu, maka untuk menjangkau suku-suku atau
budaya yang belum tersentuh Injil itu, diperlukan suatu upaya yang disebut
sebagai kontekstualisasi. Dalam hal kontekstualisasi, yang perlu diperhatikan
adalah apakah itu bisa dikotekstualisasikan atau tidak. Bagi, penulis sendiri
nama Puang (dalam bahasa Toraja) tidak menjadi suatu masalah dalam
kontekstualisasi. Yang menjadi masalah dalam kekristenan adalah ketika isi yang
diberitakan bukan lagi Injil Yesus
Kristus itu. Artinya pemberian nama Tuhan (Puang) ini bagi penulis merupakan
suatu bentuk atau cara yang sangat efektif dalam menyampaikan Injil itu, tanpa menghilangkan
makna Injil tersebut. Nama Puang bagi penulis bisa digunakan karena, itulah
yang menjadi konsep pemikiran orang Toraja sebagai yang Maha Kuasa. Tinggal
orang percaya memberikan suatu pemahaman untuk bagaimana orang tersebut
memahami Puang Matua ini dari perspektif
kekristenan.
Pada
dasarnya adalah Tuhan ingin dikenal lewat penyataan yang diberikan-Nya, baik
penyataan umum, maupun penyataan khusus. Olehnya itu, Allah ingin supaya orang
percaya pergi memberitakan Injil itu kepada suku bangsa, dengan memperkenalkan
keselamatan didalam Yesus Kristus, tanpa merubah tatanan kebudayaan
masing-masing daerah atau suku. Tapi, yang penting juga bahwa nama Tuhan yang
ada dalam Alkitab orang percaya harus diperkenalkan kepada orang-orang tersebut
sehingga lewat itu, membantu mereka dalam mengerti setiap apa yang diajarkan
atau disampaikan kepada mereka.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama Allah perlu untuk dipelajari
dan dimengerti, karena lewat itu, setiap orang bisa mengenal Dia. Allah sendiri
berinisiatif untuk memperkenalkan diri-Nya lewat penyataan yang dilakukan baik
umum maupun khusus. Sesuai dengan Amanat Agung Yesus Kristus untuk menjangkau
semua suku bangsa, maka orang percaya perlu belajar tentang kehidupan budaya
orang yang akan dijangkau. Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa nama yang
dipakai untuk Allah yakni, El, Elohim, Elyon, Adonai, Shaddai, El Sahddai, dan
YHWH. Di dalam Perjanjian Baru, ada Theos, Kurios, dan Pater.
Dalam budaya Toraja, nama Allah yang
digunakan adalah Puang Matua. Puang Matua dianggap orang Toraja sebagai Sang
Pencipta dan Yang Berkuasa. Orang Kristen dalam upaya menjangkau suku Toraja dengan
Injil menggunakan upaya kontekstualisasi. Kontekstualisasi yang dimaksud adalah
Injil masuk ke dalam budaya tersebut, tanpa merusak tatanan budaya. Yang
dikontekstualisasikan adalah nama Allah dalam Alkitab dan dalam suku Toraja
disebut sebagai Puang Matua. Yang terpenting adalah isi Injil tidak bisa
dikontekstualisasikan, artinya budaya tidak memasuki Injil tersebut.
Frerianus Erwin
DAFTAR
PUSTAKA
Alkitab:
Lembaga
Alkitab Indonesia. 2010.
Buku-buku:
Berkhof. Louis Teologi Sistematika; Volume 1 Doktrin Allah. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia 1994.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan.
Frame. John M. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. 1999.
Hesselgrave. David J. Communicating Christ Cross-Culturally: Mengkomunikasikan Kristus Sedara Lintas Budaya:
Pendahuluan ke Komunikasi Misionari. Malang: SAAT. 2004.
Porter. R.J. Katekisasi Masa Kini. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih. 2011.
Sarira. Y.A. Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen tentang Rambu Solo’. Tana Toraja: Pusbang Gereja Toraja. 1996.
Sitohang. Samin, H. Siapakah Nama Sang Pencipta? Bandung: Kalam Hidup. 2003.
Sudarmanto. G. Teologi Multikultural. Batu:Departemen Multimedia YPPII Batu. 2014.
Tangdilintin. L.T. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. 1980
Diskusi:
Lie. Herianto. Diskusi Perkuliahan Pengantar Perjanjian Lama II. Makassar: Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar. 2019.
[1] Herianto Lie, Diskusi Perkuliahan Pengantar Perjanjian
Lama II., Makassar: Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, 2019).
[2] John M. Frame, Doktrin Pengetahuan Tentang Allah
(Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, 1999), 16.
[3] Samin, H. Sitohang, Siapakah Nama Sang Pencipta? (Bandung:
Kalam Hidup, 2003), 35.
[4] R.J. Porter, Katekisasi Masa Kini (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2011), 38.
[5] G. Sudarmanto, Teologi Multikultural (Batu:Departemen
Multimedia YPPII Batu, 2014), 82-83.
[6] Louis Berkhof, Teologi Sistematika; Volume 1 Doktrin Allah
(Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994), 70-72
[7] Ibid., 74-76.
[8] David J. Hesselgrave,
Communicating Christ Cross-Culturally:Mengkomunikasikan Kristus Sedara Lintas
Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Misionari (Malang: SAAT, 2004), 96
[9]Y.A. Sarira, Rambu Solo’ dan
Persepsi Orang Kristen tentang Rambu Solo’ (Tana Toraja: Pusbang Gereja Toraja,
1996), 105
[10]L.T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya (Tana Toraja:
Yayasan Lepongan Bulan, 1980), 1.
[11] Ibid.,
[12] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar